Jumat, 22 April 2011

Ketika Hidup Harus Memilih.. Introduction

Kalau saja benar ada sebuah perjanjian antara Ruh dan Tuhan tentang sebuah kesempatan hidup kembali, apakah mungkin setiap manusia bisa menjalani kesempatan itu dengan sebenar-benarnya ?? atau malah menyia-nyiakannya, menguburnya dan menjadikannya tidak lebih dari sekedar sebuah perjalanan hidup yang tanpa makna. Karena pada dasarnya manusia terlahir dengan 2 pilihan yang membentang dihadapannya dan yang saling berlawanan seperti halnya 2 kutub magnet, positif dan negative. Memilih adalah sebuah kesempatan yang sama dimiliki oleh setiap orang, baik buruknya tidak pernah bisa dipastikan.

Belajar dari diri yang terpuruk, aku tahu aku sedang berada dekat dengan perbatasan antara hitam dan putih kehidupan. Ketika sebuah keputusan tentang hidup itu harus segera diputuskan, aku sadar sepenuhnya akan berhadapan dengan 2 zona. Satu zona menawarkan kebaikan namun dengan harga sebuah kesakitan dan juga kepedihan sepanjang masanya. Sementara zona lainnya menawarkan kenyamanan yang seyogyanya tak ingin lepas dari jiwa yang sudah sekian lama menikmatinya dengan harga sebuah duka cita dan dosa yang harus dibayar nantinya.

Begitu dekat jarak penglihatanku terhadap sebuah keputusan yang terbentang di depan mataku dan hanya aku orangnya yang mutlak untuk memutuskan. Karena siapapun dia, hanya akan menjadi seorang penasihat semata. Kebahagiaanku adalah hasil penentuanku sendiri, apakah hanya berupa kebahagiaan sesaat yang aku inginkan ataukah kebahagiaan abadi yang sebenarnya kuharapkan.

Sebuah pertanyaan besar di diriku, akankah aku bisa luput dari dosa yang terus mengejarku… akankah aku senantiasa bergelut dalam lumpur ketidak jelasan sikap, rasa dan pikiran. Aku lelah, sekaligus berontak terhadap segala hal yang harus kujalani. Aku paham bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupku adalah proses untuk mendewasakan diriku. Karena jiwaku bukanlah jiwa malaikat seperti namaku, melainkan dia hanya seonggok debu yang siap diterbangkan kemana angin membawa.

Aku mulai perjalananku dari sebuah doa yang kupanjatkan di tengah bentangan langit malam :
“ Tuhan, apakah pantas aku mengeluh tentang kesulitanku sementara kulihat seorang hambaMu yang lain penuh dengan rasa kebersyukuran dalam menjalani hidupnya.
Ya Allah.. betapa malunya aku, ketika kulihat seorang hambaMu yang juga memiliki air mata kesedihan mampu berdiri tegar setegar karang di lautan Atlantik. Begitu mulianya dia Ya Allah.. berdiri tegak dengan kecantikan wajahnya yang sarat  penderitaan dan tetap tersenyum demi merajut hidupnya. Betapa bodohnya aku, menangis hanya karena persoalan yang sebenarnya bisa kujalani tapi kurasakan berat. Betapa keikhlasan itu begitu jauh dari hatiku, hingga setiap kesendirian yang kurasakan kujadikan tempat menolak kebahagiaan. Aku terjerembab.. tersungkur diatas kakiku sendiri.. kaki-kaki yang malas bergeser dari alam kezaliman diriku sendiri. Aku mohon ampunanMu ya Rabb .. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar